Thursday, October 7, 2010

Saya & Metro Mini 72


Hari ini saya pulang kampus dengan jalur yang berbeda dari biasanya. Kalau biasanya saya pulang lewat jalur Rawa Belong – Permata Hijau – Pondok Indah, tadi saya mencoba jalur baru: Jl Anggrek – Permata Hijau – Blok M – Radal. Banyak banget hal yg saya baru lihat karena melewati jalur “baru” tersebut. Salah satunya adalah hal yg saya pengen ceritakan disini.


Dari Permata Hijau saya naik Metro Mini 70 jurusan Blok M – Joglo. Sampai di blok M, saya menunggu Metro Mini 72 di terminal (Alhamdulillah dapat tempat duduk). Saya duduk tepat dibelakang kemudi supir Metro Mini. Saya bisa langsung menyaksikan hal- hal apa saja yg si supir lakukan. Supir nya masih muda. Kira- kira umurnya 22 – 26 tahun. Saya sempat berdecak kagum, karena untuk ukuran supir Metro Mini, si supir ini termasuk masih muda. Selagi saya memperhatikan gerak gerik si supir. Saya baru sadar bahwa belum ada “pendamping” alias kenek di bis ini. Ah paling nanti di tengah jalan juga sudah ada yg menagih bayaran, pikir saya. Cukup lama bis ini me”ngetem” di terminal, mengumpulkan penumpang sampai berdesak- desakan (salah satu khas kota Jakarta). Akhirnya bis ini keluar dari terminal dan si supir melambai- lambai kepada seorang anak kecil yg berada di depan bis kami. Anak kecil itu lalu menghampiri si supir dari jendela si supir. Entah apa yg mereka bicarakan, saya tidak mengerti, namun setelah pembicaraan mereka selesai, si anak kecil tersebut lalu naik ke bis kami, lalu berseru- seru “Yoo Bulus bulus bulussssss, mall, bulus bulus bulussss”. Ya, anak kecil tersebut adalah si kenek.


Anak kecil itu sangat- sangat lincah dalam melakukan tugasnya. Saya sampai sempat ternganga begitu menyadari bahwa dia adalah keneknya. Bagaimana tidak, umurnya hanya sekitar 5 – 7 tahun! Dengan fasihnya dia berteriak kesana kemari meneriakkan jurusan bis kami. Berjalan keluar bis, berusaha mencari penumpang lain yg masih di luar bis. Saya kira bukan hanya saya, beberapa pejalan kaki di pinggir jalan pun saya dapati sedang ternganga sambil menunjuk ke arah si kenek. Hati dan pikiran saya sempat berdebat antara bangga dan sedih. Di satu sisi, saya merasa bangga sekali bahwa si kenek di umurnya yg sama sekali belum dewasa, bahkan belum remaja, sudah dengan lincahnya berlari- lari dan berkecimpung di dunia jalanan kota Jakarta. Namun di satu sisi, hati saya miris, bagaimana bisa anak kecil ini mencari uang dan tidak menuntut ilmu? Kemana orang tuanya?. Selagi hati dan pikiran saya berdebat dan belum ada keputusan antara bangga dan sedih, mungkin saat itu mulut saya belum terlalu lebar ternganga sebelum akhirnya saya melihat si kenek menghisap rokok yg biasa dihisap oleh orang dewasa (seandainya saja saya berani menyebutkan merk nya). Saya lalu geleng- geleng kepala.


Jadi, bagaimana?


1 comment: